Pelan pelan aku tumbuh sebagai kunang-kunang
Isyarat musim tak mudah disangkal, Bi
sebab hujan begitu sibuk bertiup di telingamu
Menjatuhkan bertubi-tubi bisikan iblis
juga syaiton nirojiim
Dingin, Bi
Biarkan dedaunan berpelukan pada tanah
Sebab lengan kerinduan tak cukup lincah
menghangatkan kita
Seduh saja puisimu pada setangkai embun
yang mampir di kaca
Kaca yang hampir saja dipecah sekuncup cerita
Tentang penyair yang nyaris kehilangan metafora
Lalu sajaknya laksana lelaki tua,
yang kepalanya di penuhi berlapang-lapang nisan
di tiap sisinya
Dahulu, Bi
Matanya adalah mantra,
yang sedemikian mahir menyihir kata-kata
Kelak ia akan datang padamu sebagai angin,
sebagai musim
Sebagai daun-daun yang berguguran
Sebagai sumsum kata
Lampu-lampu begitu lincah menari-nari di ekor mata
Bukan hendak mengawasimu, Bi
Namun sekedar mencoba mengubah dirinya
sebagai kunang-kunang
Berharap dapat hinggap di kukumu
Lantas meminta kamu mencakar-cakar
sekuntum makam
yang telah begitu kejam mengubur rindumu-rinduku
Ketahuilah, Bi
Kita akan lahir sebagai kunang-kunang.
Pagaralam, 18 Agustus 2015
————————————————————————-
Apriansyah Sang Puisi. Seorang guru matematika di MTs. Guppi
Pagaralam. Menyukai puisi, membaca puisi, kadang sesekali mencoba menuliskannya pada dinding-dinding, pada kertas-kertas, pada punggung waktu yang kosong. Puisi baginya adalah tempat teduh untuk meluapkan rasa, tempat sederhana untuk menikmati hidup dan kehidupan. Penulis dapat dihubungi di FB Apriansyah Sang Puisi.