Autobiografi Tanah Merah


setelah hari keenam; Ahmad Nurullah

akulah pekarangan semesta
cikal bakal peradaban umat manusia
muasal sesal gairah paling purna
lalu cinta, birahi, dan ambisi
tumbuh subur bersama margasatwa
yang dilindungi firman-firman Tuhan
lalu segala materi yang melekat padaku
merekah-rekah di udara
menjadi cermin bagi samudera
bukit-bukit dan gunung merapi
di negeri-negeri jauh tak bernama
maka di telapak tanganku
Adam dan Hawa merayakan pertemuan
memasak kehidupan dengan sisa ingatan
tentang taman surga dan rayuan syetan

akupun tumbuh oleh ciuman terpanas
di bawah matahari yang masih belia
dimana bulan dan bintang-bintang tertidur pulas
waktupun berhitung tanpa angka-angka
setelah jarak menemukan maknanya
dalam pelukan terpanjang di malam ketujuh

demi pelukan Adam dan Hawa di pelaminan Tuhan
kulahirkan buah-buahan, sayur-sayuran dan air
dan angin liar dari segala penjuru
kukultuskan sebagai penanda musim
isyarat permulaan kehidupan di dunia

ketahuilah, pada mulanya di pekarangan semesta
tiada janji buta dan keangkuhan keparat
wajah alam penuh senyum dan ketentraman
sebab arwah-arwah kegelapan belum buas
dan tak pernah memilih takdir hidup gentayangan

setelah Hawa melahirkan anak-anak atas nama cinta
kehidupan terperangah dengan api birahi
pembakar hati dan pikiran murni
kemudian cinta dikobarkan dengan api dewana
maka terbakarlah cinta di rusuk Adam
mengabulah cinta di lubuk hati Hawa
dan bergentayanganlah cinta di telapak tanganku

peradaban berjalan melintasi bisingnya hasrat
kebinatangan
sambil mendengar bisikan-bisikan Tuhan di pelupuk hutan
dan arwah-arwah pohon cinta mulai menjahit luka ingatan
dengan jarum api karatan tentang rupa alam menawan

bangau-bangau kemarau terpanah di bawah senja
penghuni pekarangan semesta menjerit
dengan teriakan paling pedih pemecah kegaiban malam
jutaan kelewar dan burung hantu pergi ke langit
dan aku menjelma jagat kematian
yang setiap batasnya adalah tajam belati waktu

kini aku adalah materi purbakala
pengenang kemesraan batu-batu langit berpandangan
tanpa sanggup menggapai pipi bulan dan mata hari
kecuali kobaran api paling binal dari mulut manusia
betapa aku hanya puing-puing makna ke-Tuhanan
dengan nyeri yang menjadi gelombang lautan

masih utuh rekaman percakapan di telapak tanganku,
dimana Adam berkata kepada Hawa:
cintaku ini Hawa, sudah benar bertengger
di puncak gunung cinta pemanggil hujan
dan kemarau yang diberkahi Tuhan

Hawa tak sanggup menahan magma madah jiwanya:
begitu pun cintaku, ia merayap dari hutan ke hutan
penuh tikaman buas cakra syetan
dan aku tahu mereka takluk oleh badai rindumu
kutahu itu dari angin sepoi yang membelai kupu-kupu
di kuntum bunga-bunga matahari di perbatasan

oh Adam dan Hawa mula asal percintaan manusia
adakah daun-daun patah
sebelum kering menjadikannya gugur
seperti auman srigala pertanda purnama jatuh?
aku bertanya atas diri yang hanya luka
ciptaan pikiran-pikiran buas anak-anak cucu kalian

saksikanlah wahai Adam dan Hawa
lebah-lebah di taman dunia berkerumun genting
di putik-putik sari kembang jagung menguning

lihatlah punggung
dan dadaku tergores luka cinta manusia
inilah luka semesta abadi yang telah Tuhan firmankan
namun aku masih sempat tersenyum bila ingat sumpah
yang kalian ikrarkan berdua di gerbang peradaban:
cintaku, kematian segera datang
dengan ranum kecupan maut
demi anak-anak cucu kita akan kujaga dunia ini
biar engkau harum di hembus terakhirku

2015

~Selendang Sulaiman~
(Baca Profil)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s