Janganlah dulu kau pamit
Janganlah dulu kau beranjak
Malam waktu baru menyapa,
Silahkan masuk katanya.
Sunyi masih muda
Alun angin masih menari-nari
lincah
dan kita berdua terduduk di sini
di bangku taman
di bawah pohon rindang
berterangkan hanya sebatang lilin
yang terus leleh dimakan waktu
saling bertatap
dalam diam
diselimuti kabut; kabut bianglala
Arak-arakan gerimis pun datang
mau mampir mereka kata
yang tiap serbuk-serbuk dari mereka membawa
setitik kenangan yang purba
masihlah kita saling balas tatap
masih dalam sunyi
sunyi yang diiringi tembang jejangkrik
diiringi orkestra gerimis
dan angin yang bergesekan
tapi kita rasakan gejolak dari dalam diri
ingin menghambur ria keluar
tapi tak sepatah, dua patah, tiga patah kata pun
berontak dari rongga mulut
malam itu, tak ada kata-kata terucap
tapi segala macam rasa dan pikir
telah sampai ke kami berdua
mesra rasanya.
Hangat.
Malam nyaris gugur, rebah
Fajar akan bertamu sebentar lagi
Mentari sedari tadi curi-curi kesempatan mengintip kami
Kami yang saling bertukar cinta kala sunyi
Bukankah mencintai dalam diam itu
lebih menyenangkan?
Bak gerimis,
disembunyikannya rindu yang meriap
oleh serbuk-serbuk air yang luruh ke tanah
tanpa mengacaukan apa yang ada di sekitarnya.
Tapi mau sampai kapan?
“Andaikata aku…”
Tapi kau ini gerimis!
Janganlah menjelma jadi badai
yang buat risau sekitarnya.
Jakarta, 23 Maret 2016
IN SILENCE
Please, do not say goodbye already
Do not go away
The night has just greet us,
It says please come in.
The silence’s still young
The wind’s still dancing agile
and we both sat here
on a park bench
under a shady tree
alighted by a candle
that melted in time
we were staring to each other
in silent
shrouded in mist; the mist of rainbow
The drizzles’ cortege had arrived
they want to stop by, they said
when each of their dusts brought
a speck of ancient memory
still we stared to each other
still in silence
with the song of cicadas
and the orchestra of drizzling rain
the wind set a friction
but we sensed our inner turmoil
that wanted to burst out
but not one, two or three words came out
rout of the oral cavity
that night, no words were spoken
but all sorts of feeling and thoughts
has clenched us both
it felt intimate.
Warm.
The night was almost falling, and laid down
Soon the dawn would come
The sun was surreptitiously peeking on us
We, that were exchanging love when silent came
Wasn’t it much more merrier when loving secretly?
Like the drizzling rain,
that hid a protrude longing
by drops of water, exuviated to the ground
without interfering the vicinity
But how long it would take?
“If only I…”
But you are the drizzling rain
Don’t transform into a storm
that overwhelmed your surroundings
Jakarta, 23rd 2016
Author: Muhammad Ilham Fauzi
Translated by Poetry Prairie
Muhammad Ilham Fauzi. Lelaki yang tertarik pada dunia sains dan kesenian ini menjadikan kegiatan bersastra dan berteater sebagai sarana pengikis penat dari rutinitasnya di jurusan kampusnya, jurusan fisika UNJ. Saat ini sedang berperan aktif dalam Unit Kesenian Mahasiswa sebagai pengurus bidang Sastra Drama.