Kuhempaskan tubuh ini, melayang
Menari kalahkan tarian ombak pasang
Terus kumelayang kalahkan air laut garang
Aku terus merekam aneka kisah tak berbilang
Penerangku sayup-sayup soroti terumbu karang
Kulihat mereka bergoyang-goyang
Menggelinding, peluk pasir lautan nan lengang
Dan mulai kudengar nyanyian terumbu karang
Nanana, huhuhu, lang leng lang
Nyanyian itu terdengar amat garang
Terus kugenggam lautan, kudengarkan ia berdendang
Begitu terasa gamang
Nanana, huhuhu, rang reng rang
Bukan lirik biasa ia ulang-ulang
Dua puluh enam detik lalu terkenang
Bersahutan tangisan dengan sorak penuh riang
Terumbu karang nyanyikan kisah malang
Meski ia tak lagi punya hutang
Laut, langit dan ikan pun telah akui dengan girang
Bila terumbu karang selalu berbaik hati tanpa berang
Sedang takdir menjelma suratan sumbang
Dua puluh enam detik lalu tubuh lainnya menghilang
Larut dalam tarian air laut nan lengang
Bola berdembum itu berhasil menghancurkan kisah lautan karang
Nyanyian itu kembali mengadu pincang
Siluet lukisan laut nampak remang-remang
Kala tangan-tangan durhaka itu menyerang
Menyita pengabdiannya pada lautan sang Maha Penyayang
Terumbu karang terus bernyanyi dan berguncang-guncang
Ia murka, teramat garang
Mencabik penghuni lautan karang
Buat mereka tercengang
Sebab terumbu karang mengenang
Sebab terumbu karang menangis dan marah kepada tangan-tangan curang
Yang hancurkan kebahagiaan terumbu karang
Takkah kau kasihan, duhai ciptaan paling istimewa sang Maha Penyayang?
Sendangagung, 14 November 2016
~Rana Rafidha Salsabilla Rachman~