Rayap dan Karatku


screenshot_2016-05-11-06-55-01-817.jpeg

Dari waktu yang memasungku pada aromamu, masih tak dapat aku dobrak, bahkan sepertinya pasungmu tuli terhadap lapuk, terhadap rayap yang kukirim tiap saat.

Nafsu memalingkanmu tanpa ingin tahu padaku yang terseok dengan pasung berat sambil mengendus-endus asap di antara angin kencang yang terkadang memberitahuku kemana arahmu beberapa hari yang lalu, dan aku tahan nyeri, aku obati robek dengan ludah yang bernanah. Terus aku endus baumu sampai endusan anjing tak lagi mengungguli endusanku.

Dari itu lantas aku pelajari lontar-lontar kuno yang berisi sejarah manusia tentang hati yang sampai kapanpun akan tetap menyandang misteri. Lalu aku tinggal baumu, aku mencoba aroma-aroma baru, yang kupaksakan untuk lebih kusuka, lebih mengandung bahagia, dan angin memenuhi hidungku pada waktu itu. Aku suka semua bau kecuali bau keangkuhan saudara-saudaraku seiring angin mengudara aku jadi semakin marah setiap kulihat ada yang salah, aku tudingkan telunjuk ke setiap arah mata angin. Terus sampai halte-halte melintas dengan lamban dan lama

-Debu siang mengaburkan aromamu-

Rayap-rayapku puas, karat-karatku membabatmu lantas, sampai jauh, sejauh halte-halte yang melintas lamban dan lama.

Suatu ketika engkau berbalik arah, sepulang dari pasar engkau bawakan kayu jati baru, rantai besi baru dan gembok kuning yang juga baru. Lalu kau perketat pasungku, memberi kabar kepedihan bagi rayap dan karatku, sampai kini engkau kembali menyebarkan aroma lama di tubuh angin yang datang darimu ke arahku.

-seiring debu tak lagi mengepul, aromamu kembali kucium-

Sumenep, 2015

————————————-

Termites and Rust

Upon the time that bound me to your scent, still I can not bust in, even when your chain seemed deaf to obsolescence, against termites that I sent from time to time.

Lust turned your face away without ever wondered ’bout me that walked limply with heavy chains, while sniffing the smoke between strong wind that sometimes told where your direction was a few days ago, and I bared the pain, I treated my torn skin with festering saliva. I kept on sniffing your scent till the bloodhounds could never excel.

I studied the ancient parchments that contain the mankind history about heart that would always carry some mysteries. Then I left your scent, to taste new aromas, which I forcefully loved, contained more happiness, and the wind filled my nose at that moment. I like all odors except the odor of my kin’s arrogance as the wind’s blowing, so I got angrier each time I saw something was wrong. I pointed my finger to each direction of the wind. Then continued crossing the shelters, long and slowly.

-The dust of noon obscured your scent-

My termites were satisfied, then the rust raked you away, so faraway, as far as the shelters that passed, long and slowly.

One day you took a detour, from a marketplace you brought new teakwood, new steel chain and new yellow padlock. You tightened my chain, sent painful news to my termites and rusts, and now you have returned to spread your old aroma on me through the body of wind.

-as the dusts are no longer blowing, once again I can smell the scent of you-

Sumenep, 2015

Author: Nuril S. Zaini
Translated by Poetry Prairie

Nuril S. Zaini. Asal Basoka Rubaru Sumenep. Berproses di Komunitas TANDUK PAYUNG, Sanggar Andalas dan Teater Gendewa. Menulis puisi di beberapa antologi dan media, juga menulis kritik sastra di beberapa pertemuan. Beralamat di PP. Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk Sumenep Madura. Email: Tandukpayung@gmail.com.
FB: Nuril ZiecaemCa‟ena.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s