Nestapa Luka Cinta Anak Penyair


Dunia basah menampung air mata seorang penyair
Merembesi langit, menetaskan hujan diatas kepala seorang bayi
Yang baru lahir di suatu subuh: ruh yang masih rapuh
Masa depannya tercipta atas tetesan cerita menantinya hingga tua
Setelah kelahiran di atas reruntuhan bangunan sehabis perang, ia berdoa
Benar-benar berdoa pada Tuhannya, “Sirnakanlah segala luka!”

Hingga besarlah ia: tertawa, bercanda, bersorak,
berteriak. Hidupnya
Memukau segala yang melihatnya. Semua terpukau atas matanya. Mata
Dengan cahaya yang memancar dari hatinya. Hati yang tercipta dari tetesan
Makna sang penyair.

Tiada lintas yang melebihi batas. Hingga suatu rasa
menyergapnya: cinta.
Ah, Petiklah bulan. Petiklah bintang. Petiklah matahari.
Kata kekasihnya.
Mereka meremuk batas antara jiwa dan raga. Mereka
lebur dalam satu tubuh
Terseret bayangan cinta yang menyergap, membuat
lupa dan alpa.

Hingga pedih hatinya: menangis, meringis, mengutuk,
menjerit. Hidupnya

Terkhianat rayuan dan tubuh seorang wanita. Wanita
yang dicintainya membakar
Hangus dirinya dengan kata-kata yang memekikkan luka.
Memekikkan angkasa
Hingga terasa ke iga. Apakah mata telah jadi buta.
Padahal hanya terseret arus dunia
Lindap yang dapat mencakar dunia dan buku-buku puisi
anak penyair: ditangkap
Oleh sezarrah debu bertafsir luka. Membutakan matanya.
Membutakan hatinya.

Maka kendi air mata penyair pecah mengalir darah.
Meneriakkan doa. Benar-benar
berteriak pada Tuhannya, “Laknatkanlah segala cinta!
Agar tak mengangakan luka!”

2015-2016

—————————————————-

The Poet’s Wounded Love

The world was wet, contained the tears of a poet
It was permeating on the sky, hatching the rain above a baby’s head
Newborn at dawn: a fragile spirit
His future was created upon the trickles of stories that awaited him growing old
After birth beyond the building ruins after the war, he prayed
deeply to God, “Vanish all the wounds!”

So he grew up: laughing, joking, cheering, shouting. His life
amazed all who saw it. Everyone dazzled by his eyes. The eyes
glowing with the emanating light from his heart. His heart was created from droplets
of the meaning of a poet.

No line that crossed the border. Until a feeling
ambushed: love.
Ah, pick the moon. Pick the stars. Pick the sun.
His lover said.
They crushed the boundary of body and soul. They
melted into one
Dragged by the shadow of ambushing love, made him
forgetful and negligent.

Till his heart was poignant: crying, grimacing, cursing,
screaming. His life

was betrayed by a woman’s body and seduction. A woman that
he loved, burned him
with words that sprouted a wound.
shaking the sky
that felt on the ribs. Was his eyes had became blind.
Though it was only a swept of world’s deceit.
A shade that scratched the world and poetry books
a poet’s child: arrested
By a grain of dust that interpreted the wound.
Blinding his eyes.
Blinding his heart.

Then the poet’s jug of tears were broken and flowing some ​bloods.
Chanting a prayer. Truly
shouted to his Lord, “Condemn the love!
So it will never open the wounds! ”

2015-2016

Author: M. Husein Heikal
Translated by Poetry Prairie

image

M. Husein Heikal. Lahir di Medan tahun 1997. Menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Berbagai karya puisi, cerpen, esai dan opini termuat di Analisa, Waspada, Mimbar Umum, Riau Pos, Haluan Padang, Sumut Pos, Suara Karya, Koran Madura, Koran Pantura, Medan Bisnis, Sulteng Post,
Horison/Kakilangit dan berbagai media online. Diundang dalam berbagai perhelatan sastra, juga pernah menjadi pembicara dan juri terkait bidang kesusastraan. Salah satu esainya terpilih dalam buku Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Kumpulan Esai Pilihan Riau Pos 2015). Kumpulan puisinya yang akan diterbitkan bertajuk Ritual Luka.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s