Hitungan kian menguatkan dahaga
Gonggongan di telinga mengigit nyawa
Ukiran khayalan tidak akan istirahat dikala
Sisi putih tercurahkan
Cahaya suci selalu menemani
Memastikan tubuh tetap bercanda
Sosialisasi kehidupan terhalang kuatnya pikiran burung memudar
Tidak mampu terbang apalagi mengepakkan khayalan
Imajinasi spontanitas redup, karena sumber harapan terbendung nada minor
Relakan saja jika terbagi menjadi butiran cinta
Ikhlaskan saja jika nyawa tak berbentuk raga
Tuliskan apa sebenarnya yang terbang dalam pikiran manusia?
Terompet berbunyi menghantui seperti teman lama bangkit dalam mimpi
Gitar memetik senarnya yang berjumlah enam
Menandakan kuatnya jiwa tidak tentram
Haus kalau tidak berkata
Ribuan bahkan jutaan bintang bibir menusuk pesona prahara
Berikan beberapa detik butiran debu tadi meracuni jiwa yang tidak penuh
Mengingatkan akan kuasa tidak terbatas
Mengaku jeda sudah lama
Tapi kian hari kian cepat
Kilat tebal aroma kemaksiatan
Tidak terbendung karena tipisnya benteng takdir
Mata tertutup jiwa mengendus jalan samping
Melewati nadi busuk yang dibenci manusia
Sakit adalah akhirnya
Menyerukan permohonan untuk berkelana dunia
Tidak semudah itu, Pusat saja tidak mungkin berhenti
Raga meminta untuk berhenti
Nyatanya cermin dunia kian kejam
Dipastikan yang terdalam
Bahwa awan mampu mencoba memudarkan rintihan pemukul dunia
Tapi apakah cahaya mampu mengizinkan?
Pertanyaan sederhana mampu mengosongkan hati raga
Jika pisau saja bermata dua, apakah pemukul dunia seperti itu juga?
Ingatlah sekali lagi, bahwa sakitlah kelak yang kau dapat
Sakit besar dirasakan, sungguh aneh jika menginginkan rasa sakit itu
Mudah berkata pada awal, beratlah merasakan rintihan batu
Namun, mencoba bukankah tidak ada salahnya?
Dari pada diam menerima jutaan sakit dunia dalam waktu yang hina
Penulis: Aditya Aji Novtara
Poetry Prairie Literature Journal #6