(puisi dua bagian, dedicated for my beloved Mother)
~ I ~
Dahulu …
Kita selalu mendamba nampan perak,
Gelas anggur, bunga di dalam vas pualam
Di atas meja marmer dan lantai putih
Dan telah kita dapati hari-hari itu :
Dengan melodi yang berayun-ayun
Dari lagu di antara cahaya lampu keemasan
Di dalam ruang luas dimana angin tak berhembus
Dan hujan tertahan di luar sana
Hanya mampu mengintip lewat jendela lebar
Betapa telah kita peroleh kulit kaca
yang lekang dari usia
Mungkin memang inilah impian :
Menatap bayang rupa kita
Pada kaca safir arloji mewah
Seakan kita kekal,
jauh di luar jangkauan keluguan jarum jam
Namun pada kekal itu,
Pada langkah dansa penghabisan
Ketika solo biola menyeret decrescendo dengan alegato
Sampai habis nadanya, sampai diam langkah kita
Baru kita sadari, jika di ruang ini
Tak ada sepasang tapak kaki perempuan tua
Yang semestinya kita baluri dengan air mata
Lebih dari betapa kita menaburi lantai ruang ini
Dengan bunga-bunga mawar dan kamboja
~ II ~
Kita ingin gema seperti jika Misa di Gereja
Kita ingin wangi dupa dari Biara,
Adzan menyentuh sampai jauh,
Surat yang telah terbaca,
Kecipak air hujan …
Kita gelora sepanjang derap kaki-kaki kuda sabana
Kita telah bermetamorfosa, dari kata-kata
dari gerah dan jengah yang binal
Nafas bersambung senggama
Genangan sisa hujan …
Ahh, kita …
Kita menyisihkan
Kita disisihkan
Kita terbuang di kejauhan
Ibu …
Aku ingin,
Kita begitu ingin,
Mencium kedua telapak kakimu …
Juni-Juli 2017
Penulis: Panji Sadewo
Poetry Prairie Literature Journal #6