Kita dan Antara Kita


Jika cinta adalah rumah singgah, yang menumbuhkan dan meruntuhkan luh, dari cangkang mata.
Jika air mata adalah patahan batu mulia, yang membuat leluasa untuk tetap menundukkan kepala.
Jika menangis adalah upacara paling magis dalam melunaskan kehidupan “sebuah kesedihan”, dan menunaskan ketabahan.
Aku sepakat denganmu, jika tidak ada tempat seindah rumah.
Sebab kau tahu, alasan ketika aku menitikkan air mata.

Empat tahun lalu, kau memintaku menyadap api.
Getahnya akan membagi kehangatan, di tingkahku yang dingin.
Agar kau leluasa menyusuri jalan pikiranku, menuju patahan air di lengkung kali yang membanjir di ulu matamu.
Aku tahu, kau mau mengukur jati diri cintanya seorang lelaki.
Seperti katamu, cinta kasih murni, ialah batu teguh di tengah kali.

Tapi, dalam separuh windu aku telah jadi abu.
Membeku di tanggal merah, di hari renta.
Aku bergegas memangkas kalender demi memadu lagi bangkai masa lalu, kukepak di amin sayapmu.
Sebab, kau adalah dara pertama yang membuatku jatuh cinta, bukan karena senggama.
Sudah kuputuskan kadarnya, hanya agar kau menafsirkan, jika aku pernah dilahirkan di kefanaan kehidupanmu:
sebagai, pemilik rusuk yang kaupatahkan, dan dihibahkan kepada rajah tangan kekalahan.

Sudah kubebat tenggang, lantas selekasnya berkemas dari ufuk niatku.
Sebab, sejatinya kau begitu padu, berpangku pada cincin tangkaimu.
Aku memilih, memutuskan tali rantai: sebuah kemustahilan, agar mengakar ekor namamu.
Sebab, seseorang telah mengukur ekor namamu.

Kubiarkan bulir anggur gugur, di lamur perbincangan.
Agar, jarak dapat melautkan jalan.
Sehingga, tak bisa kucecap wanginya kuncupmu.
Meski, aku tak menaruh batang cinta di tiris persimpangan.
Tapi, aku tak mampu menyangkal, jika sekarang, bukanlah dari sempalan rusukku engkau berasal.

Kudengarkan lagi, “lembayungmu”.
Aku melihatnya, dengan geliat telinga.
Agar, suatu kelak aku pandai mendo’a, meminta yang tak ada sia-sianya.
Semoga saja, pemilik kehidupan akan menyempurnakan tingkahku dan polahmu.
Menggiringnya, menuju sebaik-baik perilaku.
Agar, di kehidupan lain cinta membawa kita bersama, menuju surga.

Temanggung, Februari 2016

Penulis: Hamzah Firmansah


US AND BETWEEN US

If love is a halfway house, it grows and undermines the spirit, from shell of eyes.
If tear is the gemstone craquelures, which keeps the head bowed freely.
If crying is the most magical ceremony to complete the life of “a sadness”, and growing fortitude.
I concur with you, that there’s no place as sweet as home.
So then you know, the reason why I carried out these tears.

Four years ago, you asked me to extract the fire.
The saps would share some warmth, to my cold deeds.
So you can easily strode over my mind, to a fracture of spring on river’s hook that flooded the pit of your eyes.
I know, you wanted to measure the love identity of a man.
As you said, pure love, is a steady rock in the middle of a river.

But, after four years I’ve turned into ashes
Frozen between red dates on calendar, at my older age.
I cut the calendar hurrily to rejuvenate the carcass of past, I flapped with your wings.
Because, you are the first lady that made me fall in love, not because of lust.
I have decided, only for you to interpret, if I had ever been born in your transience of life:
as, the owner of ribs that you break, and granted to a palmistry of defeat.

I have swathed the time, then hurrily packed my rising intentions
Because, in truth you are so unified, standing on your ring’s bezel.
I chose, to break the chain: an impossibility, so that your name would be rooted.
Because, someone has measured the cortege of your name.

I let the grapes fall, over myopic conversation.
So that distance could wave the road.
Thus, I could not sense the fragrance of your buds.
Though, I did not put the love bars at the junction.
But, I can not deny, that now, you are not the splinter of my ribs.

I listen again, “your twilight”.
I see, with ears stretching.
So that someday I’m good enough on praying, asking for things without futility.
Hopefully, the owner of life will take my acts and your deeds into perfection.
Marching us, to the best of behavior.
So, in another life love will bring us together, to heaven.

Temanggung, February 2016

Author: Hamzah Firmansah

Translated by Poetry Prairie

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s