Semangkuk senja lukiskan semburat merah mengangkasa
Menemani sang surya yang tengah menarik sinarnya pada dunia
Tanpa rembulan yang melemparkan sorot cahaya lembut pada setangkai bunga
Menampakkan siluet hitam pekat menyayat hati
Menaungi batin yang rapuh dengan tudung-tudung penyesalan
Dan jiwa yang tenggelam dalam lempeng-lempeng ketidakpastian
Alam mulai tertidur lelap dalam dekapan sayap-sayap malam
Tidak, ia sengaja menutup matanya
Mencoba menghalau cahaya yang membawa cerita menjijikkan
Jalinan kisah penuh nista yang telah kurajut di sepanjang nafasku
Bibit-bibit nestapa yang kutebar di sepanjang jalan hidupku
Sehingga tumbuh besar menjadi pohon kedukaan
Berbuah keping-keping penyesalan yang terus memakiku
Senyap
Dunia tenggelam dalam sunyi yang mencekam
Belaian mesra angin musim semi dan tetesan hujan gerimis yang begitu ramah
Bahkan remang-remang cahaya bintang pun enggan tersenyum padaku
Kucoba menyapa seekor burung pipit yang bernaung di sebuah dahan
Namun ia hanya membisu dan membalasku dengan seonggok kotoran
Sehina itukah diriku?
Sudah tak pantaskah lagi diriku?
Selalu kucoba mencari secercah cahaya pada puing-puing sesal yang menggunung
Menyibak belantara dosa demi setapak jalan
Untuk bisa kukembali dari maksiat yang menjerat
Menuju sebuah tanah lapang yang bertabur embun pagi
Dengan bunga-bunga rumput yang tersenyum padaku
Menebar aroma kebahagiaan memenuhi sukma
Tuhan, apakah semua sudah berakhir untukku?
Tidakkah ada lagi tempat tersisa untukku bisa bernaung?
Mungkinkah tidak ada lagi pintu yang bersedia aku masuki?
Sudah habiskah helai-helai pengampunan untukku?
Aku yakin tidak begitu
Aku yakin masih tersisa setapak alur untuk kujejaki
Aku yakin masih ada setitik cahaya yang bisa aku ikuti
Dan aku yakin di balik jubah keagungan-Mu
Masih ada sehelai pengampunan untukku
Penulis: I Gede Wikania Wora Wiguna
Poetry Prairie Literature Journal #6