Di atas kereta, semua daun lontar jatuh dalam kening hujan. Menurunkan rintik-rintiknya, mengasapi rerumputan dan
berjumpa pada padang senja. Siapakah engkau di sana? Beribu-ribu hujan menelan hutan yang tandus dan berkerlip kisah kereta tua. Pelan-pelan, menguning lewat celah asap di senja ini.
Aku tulis dan duduk dengan kopi di tengahnya. Semua termangun, rerindang api berbulu duduk menjemput awan untuk berkisah dengannya. Hutan katanya: di sana ratusan ikan meloncat, menari dan meminum segelas wine dari daun serta akar pohon pinus muda.
Kusampingkan wajahku, menoleh dari berbagai sketsa awan biru, melukis wajah daun jati untuk mengenang kisahnya lagi. Sewaktu muda, sewaktu yang tak ada.
Di atas kereta, sebuah rel akan mati. Ujung hutan mulai sepi, tetesan hujan redah dengan sendiri. Hanya tinggal serpihan daun pinus dan jati. Dan memasang sayu mataku, mengenang ratusan bintang duduk di atasnya. Sewaktu kecil, tak aku lihat tangisannya. Perih dengan sendiri. Bagaikan hutan itu, hutan itu. Di hujan ini, aku dan hutan itu berkata: sapulah rerindang malam ini, sebelum bulan memerah dan memeluk semuanya. Menjadi hiasan tak berguna.
Sesampainya di ujung kereta. Aku lihat wajahku di dekat jendela, tersenyum lirih. Menyanjung sebuah mimpi, dengan selimut malam ini. kusapa engkau di sana, lewat waktu yang
berlalu. Tak ada yang lainnya selain renungan diri menuju gerhana dengan sepasang burung manyar duduk
menyendiri berdoa akan Tuhan.
Bangkit Prayogo. Lahir di Kediri 30 Mei 1992, menyukai dunia tulis menulis sejak SMP utamanya Puisi. Puisi adalah renungan
jiwa yang sangat kuat dan akan selalu menjadi penting untuk sebuah nilai kesadaran. Sebuah ketulusan dan keindahan yang tak terhingga, itulah puisi. Kewajiban yang harus
dipertahankan.