Kau lihat bola bening matanya
Mengalir jernih bulir-bulir lara
Karena darinya sumber mata air air mata
Kau lihat langkahnya
Menapak kerikil tajam tanpa alas dari Ayah dari Bunda
Hingga tertinggal jejak-jejak kerikil di kakinya
Kau lihat mukanya
Tertutup kabut kelabu hitam dalam
Guratan asa tergambar di pipi kanan kirinya
Membuat kusam panorama pandang melihatnya
Diraihnya buah dari dahan yang rendah
Tapi bukan kepunyaan Ayah Bundanya
Adalah hari depannya yang kan selalu mengepung
Karena telah dipermainkan jari nasib dengan curang
Sehingga ia terasing dari kasih sayang
Terasing dari keharmonisan
Terdampar di tepian terhindar
Apa lagi yang tinggal
Gadis itu bertanya
Tak mungkin mencoba pertahankan
Hempasan badai dengan seutas benang, mana dapat
Rumahku roboh olehnya
Atap-atapnya tak mampu menaungi kepercayaan
Dinding-dinding pelindung hancur
Tiang penyangga keropos rata juga dengan tanah
Kini semuanya dianggapnya riwayat
Mencoba mengabaikan bisik risih dalam jiwa
Gadis itu terus melangkah jalan
Meski dia tahu tidak semua menuju ke arah taman
Penulis: Amalia Nur Fajriyati