suatu petang menekuri kisah ibu pemasak batu,
mencari penghiburan diri dalam malam kian tiris,
berharap ringis sang anak tak berubah menjadi tangis yang panjang
ia merayu perut kosong menunggu temaram berubah menjadi terang. tapi, malam kembali enggan untuk cepat beranjak, sebab jenak tak mengubah apa yang ditanak di atas tungku
perih kian melilit, menghadirkan getar pada bibir
kering tak lepas dari komat kamit. apa yang bisa ia
sajikan di dalam piring kaleng, bunyi yang sama
nyaring dengan lapar berteriak tidak sabaran
pada pengharapan, ia menghalau desir angin agar membawa sebutir kurma atau sekerat roti. ingin kenyang menyapa anak yang kelaparan, hingga
Umar datang menyambut keluhan
di suatu ruang, aku menatapi hidangan ruparupa
tersusun di atas baki bermotif bunga. namun perih
masih saja hadir dalam perut kosong yang tak bisa
diisi apa-apa, hanya bisa menatapnya dengan nyalang
apa yang harus aku lakukan, jika setiap butir nasi atau
sekerat roti tak hendak masuk hanya untuk menyapa lambung yang kian berteriak kesakitan,
perihnya sama oleh rasa lapar
aku membuat pengandaian, sajian itu menyelinap diamdiam dan berproses dalam pencernaan, seketika akupun kenyang
aku dan si ibu pemasak batu berdampingan,
menjajari perih karena tak ada makanan terlewat dari kerongkongan
sedangkan di sebuah tempat makan piringpiring
berantakan, berhias tumpuk makanan, tak menjelma
jadi remah bahkan masih utuh tak jadi dimakan,
tersebab soal selera, tak cocok di lidah, berakhir di tempat pembuangan
Ruang Biru, 280218
Puisi Pilihan 3 – Poetry Prairie Literature Journal #8 “Makanan & Manusia”
Penulis: Hida Syifa