Aku tetapkan tasbihku di laguna barat berhadapan bias cakrawala
Puisi yang kulukis makin terasa sepi, digulung harapan yang tak puas diharap
Perjalanan hidup yang melaksa jiwa tak pernah usai bahkan lebih menjadi-jadi
Hingga terngiang, terkapar rautku menatap tubuh yang kian asing disentuh
Tubuh yang dulu menemani berjalan hingga ujung lembah lain tertuntaskan
Tubuh yang terbalut dengan jingganya senja,
terpantulkan bintang-bintang galaksi Andromeda
Menjadikan hari-hari di jalanku kian terasa sendiri,
sampai detak waktu arloji menggaung keras melebihi hati
Dari lembah hari ini, aku hanya dapat menerka hujan datang,
menghitung setiap butir, menyentuh dan menggenggam
Apakah di setiap tikunganku noda dan rindu selalu sama?
Laguna tepian barat terlihat tertawa dengan sorbannya berlembayung senja
Senyuman indah kubuat lekat-lekat terpampang di urat wajah,
bersembunyi dalam duka kesendirian
Namun, jika hujan tak basah digenggam,
bintang tak indah dipandang, tubuh pun akhirnya tak lagi merasakan artinya kehadiran
Seakan-akan sudah bakatnya membuat tangis yang tak bisa diajak berbincang
Pada waktunya, tanpa ucap tubuh pergi menyisakan jejak berpaut aroma basah hujan
Laguna sebelah barat mengisyaratkan perjuangan
Dalam hentakan setiap perjalanan atau hitungan hirup udara yang dihempas hembuskan
Selayaknya, memaklumi tubuh yang meninggalkan, menguatkan hati yang ditinggalkan
Hingga perjalanan itu semakin sunyi, dan laguna barat tinggallah mimpi
13 Februari 2017
(Something Left Unspoken)
Poetry Prairie Literature Journal #5
Penulis: Amalina Dwi P