Saat-saat sunyi perjalanan. Kunyalakan obor di tangan.
Apinya dari kepundan keramat
puncak Kelud di musim pancaroba, yang
menembangkan kutukan Lembu Sura.
Anak-anak zaman limbung. Bermain dalam gelap
perbendaharaan bahasa.
Kubawa api penerangan di atas jalan berbatu.
Apa kabar hari ini petani tebu, petani
yang dulu memasok bahan baku primadona
perdagangan kolonial;
kini lahan penanaman tebu diperluas
agar lahan yang ada berkurang
daya tawarnya.
Apa kabar hari ini penduduk negeri
yang dicekoki hasil produksi,
lupa tanahnya berkisah pilu Mpu Sedah
yang tak rampung menggarap
parwa-parwa baratayuda. Sementara
biji mata kita disilaukan
gaya hidup negeri asing.
Nyala obor tinggal setengah ons,
ketika jalan berbatu kian renggang.
Longsor mengintip dari balik gelap.
Aku berkata, sejarah bukan
untuk dijadikan teror
bukan pula jari telunjuk yang ditudingkan
dari arah masa lalu.
Sejarah adalah lakon manusia
agar saling memahami. Bukan menghakimi.
Lalu, apa kabar buruh hari ini
oposan tetap sejak zaman kolonial;
suaranya di jalan disejajarkan
dengan kemacetan
dan dijawab dengan kabar pemindahan pabrik
ketika menuntut upah diperbaik.
Amboi, selain tanah yang subur
negeri ini kaya pula angkatan kerja!
Nyala obor kian redup. Langkah
kian bergetar. Kulihat obor-obor lain bagai
titik bintang di kedalaman semesta. Jauh
dan kecil, namun bertahan.
Surabaya, January 2017
Poetry Prairie Literature Journal #5
Penulis: Chandra Krisnawan