jangan menangisi pagi, bu
sebab ia mati ketika mata kita terpejam
sudah tidak ada tempat aman bagi putrimu
malam, kini menjadi momok yang maha kejam
kembang putrimu hilang ditelannya
sampai meregang nyawa
mungkin tempat yang baik untukmu
adalah di atas awan sana, bu
kau bisa menjaga putri-putrimu dengan baik
kau tak perlu khawatir
karena tak ada anjing yang melolong
atau serigala bermantel kepalsuan
yang hendak menerjang mereka
ayah pun pasti tak akan cemas
melepas putrinya saat pulang sekolah
(2016)
Penulis: Awan Hikmawan
Lahir di Bogor, 1990. Lulusan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta tahun 2012. Selama berkuliah menjadi anggota dan pengurus Bengkel Sastra UNJ. Saat ini menjadi tenaga pendidik di SMA Insan Cendekia Madani BSD. Selain itu, menjadi bagian dari ARtERI (dulu Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang) sebagai Kepala Departemen Apresiasi Sastra dan Seni. Beberapa puisinya pernah dimuat dalam surat kabar Solopos, Minggu Pagi, Radar Surabaya, Inilah Bogor, Analisa Medan, jogjareview.net juga beberapa antologi karya bersama, seperti Mataharu, Tujuh Tubuh, Bogor dalam Komposisi, dan Fragmen Perjamuan.
Alamat surel rambuhujan@gmail.com | blog: rambuhujan.blogspot.com
Untukmu, Dik!
Obat paling mujarab bagi orang tua adalah melihat senyum anak-anaknya. Saya rasa hal itu tidak hanya berlaku bagi orang tua saja, ketika kita (yang muda) melihat senyuman anak-anak yang kita temui di jalan raya, dalam bus kota, atau saat menunggu kereta yang terlambat datang, sejenak rasa lelah kita hilang, bahkan kita seolah ingin masuk kembali ke dunia mereka yang penuh keceriaan. Seperti halnya kita yang mengalami masa kanakkanak dengan keceriaan, maka mereka yang kini dalam fase tersebut berhak atas kecerian bukan kekerasan atau bahkan pelecehan yang akan melenyapkan fase keceriaan itu.
1 Comment